Aku Tersenyum Di Atas Luka, Karena Itu Satu-satunya Yang Tersisa



Kabut kelabu menggantung pekat di antara puncak-puncak Gunung Tian Shan, menyelimuti Pagoda Bulan Purnama dengan misteri yang sama dalamnya dengan jurang yang menganga di bawahnya. Di sana, di tengah keheningan yang mencekam, Li Wei berdiri. Lima belas tahun berlalu sejak ia dinyatakan hilang, tewas dalam pemberontakan berdarah yang menggulingkan kaisar sebelumnya.

Li Wei – atau begitulah ia dulu dikenal – kini memiliki nama baru, Yan Zhao. Wajahnya masih menyimpan ketampanan yang dulu mempesona seluruh istana, namun matanya kini dingin dan tajam, mencerminkan badai yang berkecamuk di dalam hatinya.

Ia menunggu.

Dari balik pilar berukir naga, sosok berjubah sutra ungu muncul. Kaisar Xian, sepupunya, dan juga, orang yang mengkhianatinya.

"Zhao... sungguh tak terduga," suara Xian bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena kegelisahan yang kentara. "Kupikir kau sudah lama menjadi debu."

Yan Zhao hanya tersenyum tipis. "Debu kadang berterbangan, Kaisar. Hingga menemukan jalannya kembali ke tempat asalnya."

"Untuk apa kau kembali? Mengusik ketenangan kerajaanku?"

"Ketenteraman? Kau menyebut ini ketenteraman, Xian? Dibangun di atas darah dan kebohongan?" Yan Zhao melangkah mendekat, suara beratnya memecah keheningan. "Aku kembali untuk mencari jawaban. Untuk apa kau membunuh ayahku? Untuk apa kau menjebakku dalam pemberontakan itu?"

Xian terdiam, mata hijaunya berkedip-kedip di balik kerudung. "Kau... kau salah paham. Semua itu demi kerajaan. Demi..."

"Demi kekuasaan?" Yan Zhao menyelesaikan kalimat Xian dengan nada mengejek. "Jangan berbohong padaku, Xian. Aku tahu yang sebenarnya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kau yang menyuruh para pemberontak! Kau yang mengadu domba ayahku dan Jenderal Zhang!"

Kabut semakin menebal, melilit mereka seperti ular raksasa. Suara angin mendesir melewati celah-celah pagoda, seolah ikut menyaksikan pertunjukan yang memilukan ini.

Xian tertawa hambar. "Kau memang pintar, Zhao. Terlalu pintar. Itu sebabnya kau harus disingkirkan."

"Aku tahu," Yan Zhao mengangguk pelan. "Aku tahu sejak awal. Tapi kau salah, Xian. Kau pikir aku hanya korban dalam permainanmu? Kau salah besar."

Yan Zhao mengangkat tangannya, memberi isyarat. Dari balik bayangan, prajurit berpakaian serba hitam muncul, mengepung Xian.

"Apa... apa ini?" Xian tergagap, panik jelas terlihat di wajahnya.

Yan Zhao menatap Xian dengan tatapan sedingin es. "Aku membiarkanmu merasa berkuasa, Xian. Aku membiarkanmu percaya bahwa kau memenangkan permainan ini. Karena aku tahu, kebohongan yang paling sempurna adalah kebohongan yang kau yakini sendiri."

"Tapi... bagaimana mungkin? Para pemberontak... mereka semua setia padaku!" Xian berteriak putus asa.

"Kau yakin?" Yan Zhao tersenyum lebih lebar, senyum yang tidak mencapai matanya. "Atau, mungkinkah aku yang memanipulasi mereka sejak awal?"

Xian terdiam. Wajahnya pucat pasi, seolah seluruh darahnya telah menguap. Kebenaran menamparnya dengan kekuatan yang mematikan. Semua yang ia yakini sebagai kenyataan, semua yang ia perjuangkan, ternyata hanyalah ilusi yang diciptakan oleh Yan Zhao.

"Kau... kau..." Xian tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya ambruk ke tanah, matanya menatap langit yang mulai menghitam.

Yan Zhao berjongkok di depan Xian, wajahnya tanpa ekspresi. "Kau tidak pernah benar-benar memegang kendali, Xian. Kau hanyalah bidak dalam permainanku."

Ia berdiri, membalikkan badannya, dan berjalan menuju pintu keluar pagoda. Para prajurit membungkuk hormat saat ia lewat.

Di ambang pintu, Yan Zhao berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang, menatap tubuh Xian yang tergeletak tak berdaya di lantai. Lalu, dengan nada datar, ia berbisik,

"Dan sekarang... permainan baru dimulai. Dan kali ini, tidak akan ada yang selamat."

You Might Also Like: Peluang Bisnis Kosmetik Usaha Sampingan

Post a Comment

Previous Post Next Post