Di antara kabut sungai Lancang, di mana teratai bernyanyi dalam sunyi, bayanganmu menari. Gaun sutra Shantung berwarna persik membelai tubuhmu, serupa sentuhan mimpi yang tak terjangkau. Kau berdiri di sana, Lian Hua, bunga teratai-ku, tetapi senyummu bukan lagi untukku.
Cincin bertahtakan safir, dingin dan berkilau, melingkari jarimu. Simbol janji, simbol kepemilikan. Tapi aku melihatnya, di balik kilau permata itu, mata zamrudmu bersembunyi, menatap ke arahku, seolah mencari jembatan yang telah runtuh ke jurang waktu.
Dulu, di paviliun yang dibangun di atas air, kita berbagi rahasia di bawah tatapan rembulan. Aku melukis potretmu di atas sutra, setiap goresan kuas adalah debaran jantungku. Kau memetik guqin, melodi cinta kita berayun di antara pepohonan willow yang meratap.
Apakah semua itu hanya mimpi? Apakah lukisan itu hanyalah ilusi yang dipahat dalam benakku? Kadang, aku mencium aroma melati di udara, dan aku tahu kau ada di dekatku, rohmu bergentayangan di antara kenangan.
Aku pernah melihatmu di pasar malam Shanghai, menawar lentera merah. Kau tertawa, suara yang dulu membuatku tergila-gila, tapi tawa itu palsu, hampa, tanpa kehangatan yang dulu kurasakan. Kau menoleh, mata kita bertemu. Sedetik. Semesta berhenti. Lalu, kau menghilang di antara kerumunan, seperti kabut yang ditiup angin.
Beberapa tahun berlalu. Aku menemukan gulungan surat di peti tua. Surat-surat darimu. Tulisan tangannya bergetar, tinta luntur oleh air mata. Di baris terakhir, kata-kata itu tercetak dengan TEBAL:
"AKU DIPAKSA, XIE LONG! HATIKU SELALU DAN AKAN SELALU MENJADI MILIKMU!"
Dunia berputar. Cincin itu. Pernikahan itu. Semua itu paksaan. Semua itu KEBOHONGAN. Namun, kebenaran ini, kebenaran yang memilukan, datang terlalu terlambat.
Kini, di bawah bulan purnama yang sama, aku duduk di paviliun yang telah lapuk. Angin bertiup melalui pepohonan willow yang tetap setia meratap. Aku mendengar bisikan, begitu lembut, begitu dekat...
Apakah kau ingat janjimu, Xie Long?...
You Might Also Like: Panduan Sunscreen Mineral Lokal Dengan