Tangisan yang Mengakhiri Semua Cinta
Lorong-lorong istana berdesir sunyi. Obor-obor tua menari-nari lemah, memproyeksikan bayangan panjang yang menyeramkan di dinding-dinding batu. Di kejauhan, suara seruling samar terdengar, menambah kesan misteri yang menyesakkan. Kabut tipis merayap masuk melalui jendela berukir, menyelimuti segala sesuatu dengan kerudung dingin.
Lima belas tahun telah berlalu sejak Li Wei, sang putri mahkota, dinyatakan hilang. Terjatuh ke jurang saat berburu di pegunungan berhantu, begitu kabar yang tersebar. Namun, malam ini, di lorong terlarang ini, sosok itu berdiri. Bukan hantu, bukan pula bayangan. Li Wei kembali.
Wajahnya pucat, rambutnya tergerai panjang, namun matanya… mata itu menyimpan badai yang selama ini terpendam. Di hadapannya, berdiri Kaisar, ayahnya. Wajahnya penuh kerutan, matanya redup oleh kesedihan dan penyesalan.
"Wei'er… anakku? Mustahil…" Bisiknya, suaranya bergetar.
Li Wei tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Mustahilkah, Ayah? Mustahilkah bahwa kebusukan bisa bersembunyi begitu lama di balik topeng kesetiaan?"
Kaisar terhuyung mundur. "Apa maksudmu?"
"Pegunungan berhantu, Ayah… bukanlah tempat yang berbahaya. Kecuali, jika seseorang mendorongmu ke jurang."
Udara terasa membeku. Hanya suara seruling yang memecah kesunyian.
"Siapa… siapa yang berani?" Kaisar bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Li Wei melangkah maju, mendekat. "Siapa, Ayah? Siapa yang paling diuntungkan dengan kepergianku? Siapa yang menggantikanku sebagai pewaris tahta? Siapa yang berdiri di hadapanmu saat ini, memohon belas kasihan?"
Kaisar menatapnya dengan horror. Kebenaran mulai menampakkan diri, seperti monster yang bangkit dari dasar jurang.
"Tidak… tidak mungkin… Kau…"
Li Wei mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Air mata kebencian, bukan kesedihan.
"Aku, Ayah. Aku yang merencanakan semuanya. Hilang… mati… Lalu, kembali. Membiarkan kalian semua, para bonekaku, menari sesuai irama yang kutentukan. Lima belas tahun… waktu yang cukup untuk mempersiapkan segalanya."
Kaisar terjatuh berlutut, tangannya gemetar. "Kenapa? Kenapa melakukan ini?"
Li Wei berlutut di hadapannya, memegang dagunya dengan kasar. "Karena cinta, Ayah. Cinta pada kekuasaan. Dan cinta pada pembalasan."
Ia melepaskan pegangannya dan berdiri. Udara dipenuhi dengan aroma kematian.
"Tangisan yang selama ini kalian dengar… bukanlah tangisan kesedihan. Itu adalah musik kemenangan. Musik yang mengakhiri semua cinta."
Li Wei berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kaisar yang hancur dalam lorong yang semakin gelap. Suara seruling semakin nyaring, mengiringi langkahnya menuju tahta.
Di kejauhan, sebuah pintu terbuka, dan Li Wei tersenyum. Senyum seorang ratu yang telah menaklukkan segalanya.
Dan saat itulah, kalian menyadari bahwa sang korban… memegang kendali sejak awal.
You Might Also Like: Agen Skincare Supplier Skincare Tangan