Cerpen: Bayangan Yang Menatapku Dari Balik Api



Bayangan yang Menatapku dari Balik Api

Asap dupa cendana mengepul, menari-nari di sekitar wajah Li Wei, menyembunyikan kesedihan yang menggerogoti hatinya. Di luar, kembang api Tahun Baru bersahutan, meraung riang, sebuah kontras ironis dengan hatinya yang remuk. Tiga tahun. Tiga tahun ia mencintai Zhang Yi dengan segenap jiwa raganya. Tiga tahun ia mengabdikan diri, membangun Kekaisaran Zhang bersamanya, dari puing-puing menjadi dinasti yang gemilang. Dan sekarang? Ia berdiri di sini, di singgasana kesepian, menyaksikan pria yang ia cintai bersumpah setia pada wanita lain.

Senyum Li Wei terukir di bibirnya, sebuah topeng kesempurnaan yang dilatihnya bertahun-tahun. Ia seorang permaisuri, ia tidak boleh menunjukkan kelemahan. Walaupun, setiap tatapan Zhang Yi pada selir barunya, setiap sentuhan ringan di tangannya, terasa seperti pecahan kaca yang menggores hatinya. Dulu, sentuhan Zhang Yi adalah kehangatan matahari, sekarang… hanya kealpaan dingin.

"Yang Mulia Permaisuri," bisik pelayannya, Lian, khawatir. "Apakah Yang Mulia baik-baik saja?"

Li Wei mengangguk, matanya tertuju pada api di perapian. "Aku baik-baik saja, Lian. Hanya sedikit… dingin." Dingin yang menusuk tulang, dingin yang merampas kebahagiaan, dingin yang ditinggalkan oleh PENGKHIANATAN.

Ingatannya melayang ke masa lalu. Janji-janji yang terucap di bawah pohon sakura yang bermekaran. "Aku akan selalu mencintaimu, Wei." Kalimat itu dulu adalah melodi terindah, sekarang menjadi dengung mematikan yang menghantui setiap tidurnya. Pelukan Zhang Yi dulu adalah perlindungan, sekarang terasa seperti RACUN yang perlahan membunuhnya. Senyumnya… senyum yang dulu membuat dunia Li Wei bersinar, kini hanya kebohongan indah.

Malam-malam berikutnya, Li Wei menghabiskan waktu di perpustakaan kekaisaran. Bukan untuk mencari hiburan, melainkan untuk merencanakan. Bukan dengan amarah yang membabi buta, melainkan dengan KETENANGAN yang dingin. Ia tidak akan menumpahkan darah. Ia tidak akan melakukan kekerasan. Ia akan menghancurkan Zhang Yi dengan cara yang jauh lebih menyakitkan: dengan membuatnya menyesal selamanya.

Setiap hari, Li Wei menunjukkan kebaikan pada selir baru Zhang Yi, Lady Mei. Ia mengajarinya etika istana, membagikan perhiasan, dan bahkan membantunya memahami kebijakan kekaisaran. Lady Mei, yang polos dan lugu, mulai memandang Li Wei sebagai sahabat. Zhang Yi menyaksikan semuanya, merasa bingung dan sedikit… bersalah.

Kemudian, datanglah hari ketika Lady Mei hamil. Zhang Yi diliputi kebahagiaan. Li Wei mengucapkan selamat padanya dengan senyum yang tulus, namun di matanya, berkilat sebuah kemenangan.

Beberapa bulan kemudian, Lady Mei melahirkan seorang putra. Pewaris Kekaisaran Zhang. Namun, Li Wei telah menanam benih keraguan di benak Zhang Yi. Benih yang bertumbuh menjadi pohon kecurigaan yang menjulang tinggi. Bisikan-bisikan halus tentang kesetiaan Lady Mei, tentang masa lalunya yang misterius, tentang bibit unggul yang tiba-tiba muncul di taman kekaisaran.

Zhang Yi mulai meragukan segalanya. Ia memandang putranya dengan tatapan curiga. Ia memperlakukan Lady Mei dengan dingin dan jauh. Lady Mei, yang dulu penuh keceriaan, layu dan pudar.

Akhirnya, Zhang Yi, yang dilanda paranoia dan penyesalan, ditinggalkan sendirian. Kekaisarannya gemilang, namun hatinya kosong. Ia memiliki segalanya, tetapi kehilangan yang paling berharga: KEPERCAYAAN.

Li Wei menatapnya dari kejauhan, bayangan yang menatap dari balik api. Ia tidak pernah membunuh siapapun, tetapi ia telah menghancurkan Zhang Yi sepenuhnya. Ia telah membuatnya merasakan sakitnya kehilangan, sakitnya pengkhianatan, sakitnya hidup dengan PENYESALAN ABADI.

Ia berbalik, meninggalkan Zhang Yi dalam kesepiannya. Senyumnya, kali ini, adalah senyum yang tulus. Kemenangan yang terasa pahit, namun memuaskan.

Cinta dan dendam… lahir dari tempat yang sama, bukan?

You Might Also Like: Absurd Tapi Seru Takdir Yang Memainkan

Post a Comment

Previous Post Next Post