Hujan di Shanghai malam itu adalah deja vu. Dinginnya meresap ke tulang, sama seperti ratusan tahun lalu, di bawah langit Istana Kekaisaran. Aku, Lin Yue, berdiri di bawah atap kedai kopi kecilku, memperhatikan lalu lalang pejalan kaki. Aroma kopi robusta gagal mengusir bayangan pahit masa lalu.
Lalu, dia datang.
Wei Zhan. Wajahnya, ekspresinya… identik. Persis seperti Kaisar Zhen, yang pernah kupuja, kuabdikan seluruh jiwa raga. Kaisar yang memerintahkan eksekusiku di alun-alun kota, hanya karena aku, seorang selir rendahan, membocorkan rencana pemberontakan abangnya.
Di kehidupan ini, Wei Zhan adalah seorang arsitek muda yang tengah naik daun. Kami bertemu secara kebetulan, bertabrakan di sebuah pameran seni. Senyumnya yang dulu menenangkanku, kini bagai pisau berkarat yang menusuk jantungku.
Hujan semakin deras. Wei Zhan berteduh di bawah atap kedai kopiku. Matanya bertemu mataku. Ada kebingungan di sana, seolah dia mencari sesuatu yang hilang.
"Kopi panas?" tanyaku, suaraku terdengar asing di telingaku sendiri.
Dia mengangguk. Saat aku mengulurkan cangkir, tangannya menyentuh tanganku. Sensasi aneh menjalar di sekujur tubuhku, campuran antara kerinduan dan dendam.
Malam-malam berikutnya, kami bertemu lagi. Di kedai kopiku, di taman kota, bahkan di bawah hujan yang sama. Satu malam, saat hujan turun dengan derasnya, dia menarikku mendekat.
"Aku merasa seperti… mengenalmu sejak lama," bisiknya, suaranya serak.
Lalu dia menciumku.
Ciuman itu adalah ledakan. Kilasan-kilasan masa lalu menghantamku. Istana yang megah, aroma dupa, pedang yang berkelebat, tatapan dingin Kaisar Zhen… semua berputar di kepalaku. Aku melihat pengkhianatan di matanya, mendengar kata-kata perintah eksekusi, merasakan dinginnya guillotine.
Aku melepaskan diri. Wei Zhan menatapku dengan bingung.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Kamu… kamu bukan orang yang kukenal."
Tapi aku tahu dia adalah Kaisar Zhen. Reinkarnasi.
Selama berminggu-minggu, aku bergulat dengan diriku sendiri. Balas dendam. Tapi bagaimana? Membalas dendam atas dosa yang dilakukan ratusan tahun lalu?
Lalu aku memutuskan. Dendamku tidak akan berwujud pedang dan racun. Dendamku akan berwujud keputusan.
Wei Zhan sedang mengerjakan proyek besar. Restorasi Istana Kekaisaran yang terbengkalai. Dia sangat bersemangat. Aku, dengan keahlianku dalam meracik kopi, menjadi penasihatnya. Aku mempengaruhi pilihannya. Mengarahkannya ke keputusan-keputusan kecil yang, tanpa disadarinya, akan mengubah arah proyeknya.
Aku tidak merusak Istana. Aku hanya… membelokkannya. Mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih manusiawi, lebih rendah hati, lebih… layak. Sesuatu yang tidak akan mengingatkannya pada kekuasaan mutlak dan pengkhianatan.
Wei Zhan, dengan polosnya, mengikuti saranku. Dia bangga dengan hasil karyanya. Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatinya, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang seharusnya ada, tapi tidak pernah ada.
Suatu malam, dia kembali ke kedai kopiku. Hujan masih turun.
"Aku… aku merasa aneh, Lin Yue," katanya, suaranya lirih. "Seperti ada yang hilang dalam hidupku."
Aku menatapnya. Wajahnya pucat, matanya sayu.
"Mungkin," jawabku, "ada beberapa kehilangan yang tidak bisa digantikan."
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya. "Jalani saja hidupmu, Wei Zhan. Jalani hidupmu sebaik mungkin."
Dia meraih tanganku. "Aku… aku akan mencarimu di kehidupan selanjutnya, Lin Yue."
Aku tersenyum pahit. "Mungkin saja."
Hujan terus turun. Wei Zhan pergi. Aku berdiri di bawah atap kedai kopiku, sendirian. Aku telah mengubah takdir. Aku telah membalas dendam. Tapi sebuah pertanyaan tetap menggantung di udara: Apakah aku sudah benar-benar memaafkan?
Mungkin di kehidupan selanjutnya, aku akan tahu jawabannya… dan mungkin, di sana, di bawah langit yang berbeda, kita akan kembali berdansa, meski seribu tahun tertunda.
You Might Also Like: Unexplained Wildlife Encounters Glimpse