Bikin Penasaran: Darah Yang Menjadi Tinta Penyesalan



Darah yang Menjadi Tinta Penyesalan

Aroma dupa cendana menyengat hidung Lin Mei. Mimpi itu lagi. Potongan-potongan adegan yang kabur namun terasa begitu nyata: istana megah, jubah sutra berwarna darah, dan tatapan pengkhianatan yang menusuk jantung. Lin Mei, seorang mahasiswi arkeologi di abad ke-21, merasa mimpi-mimpi itu terlalu intens untuk sekadar imajinasi.

Dia selalu merasa aneh tertarik pada artefak-artefak Dinasti Ming. Lukisan gulir yang menggambarkan seorang permaisuri cantik dengan tatapan sedih selalu membuatnya merinding. Seolah jiwa permaisuri itu berbicara padanya.

Suatu hari, saat menggali situs kuno, Lin Mei menemukan sebuah kotak perhiasan tersembunyi. Di dalamnya, sebuah jepit rambut giok berbentuk burung phoenix. Sentuhan giok itu mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuhnya. Seketika, ingatan membanjiri otaknya.

Dia bukan Lin Mei. Dia adalah Mei Lan, permaisuri kesayangan Kaisar Hongwu. Cinta mereka membara, namun di balik kemegahan istana, intrik merajalela. Selir Lian, sahabat terdekatnya, ternyata menyimpan DENDAM membara. Lian meracun Kaisar, dan menuduh Mei Lan sebagai dalang.

Mei Lan dieksekusi dengan keji. Darahnya menodai salju putih, menjadi tinta yang menuliskan penyesalan abadi.

Lin Mei (Mei Lan) menatap jepit rambut phoenix di tangannya. Kebencian dan kesedihan menyatu dalam hatinya. Lian, di kehidupan ini, adalah Profesor Zhang, dosen senior di departemen arkeologi. Sosoknya berwibawa dan dihormati, namun Lin Mei kini melihat topeng kepalsuannya.

Balas dendamnya tidak akan berdarah-darah. Dia tidak akan membunuh Profesor Zhang. Tidak. Dendamnya lebih halus, lebih menyakitkan.

Sebagai ahli arkeologi yang berbakat, Lin Mei diam-diam memanipulasi bukti-bukti. Dia mengarahkan perhatian para sejarawan pada fakta-fakta yang membuktikan bahwa Kaisar Hongwu meninggal karena racun dan bahwa Selir Lian (Profesor Zhang) memiliki motif tersembunyi.

Reputasi Profesor Zhang hancur. Kariernya tamat. Ia kehilangan segalanya, sama seperti Mei Lan di kehidupan sebelumnya. Lin Mei menyaksikan kejatuhan Profesor Zhang dengan tatapan dingin. Tanpa kata, tanpa emosi.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa hampa. Balas dendam tidak membawa kedamaian. Hanya kesunyian yang mendalam.

Ia menatap lukisan gulir Permaisuri Mei Lan yang kini terpajang di museum. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

Aku akan menemuimu di sisi lain waktu, dan kita akan menyelesaikan ini, sahabatku.

You Might Also Like: Kekurangan Face Wash Untuk Kulit

Post a Comment

Previous Post Next Post